Jumat, 20 November 2015

Menikmati Hidup

        Sudah batang ke sembilan rokok yang ku hisap di hari ini. Dua gelas kopi turut menemani pagi dan sore untuk setiap gelasnya. Malam ini juga ku seduh secangkir teh dengan komposisi gula yang tak banyak untuk menemani hujan yang turun. Dalam kamar kost ku mengalun nada-nada dari lagu Iwan Fals yang setia menemani sehabis maghrib tadi. Pikiran pun mengikuti makna yang ada dalam lagu, memikirkan apa makna dari lagu yang  terngiang di telinga.
       Beginilah cara ku menikmati hidup, menikmati hidup dengan keadaan hidup yang tak nikmat. Tak nikmat dari sisi mana? Aku tak tahu. Menikmati hidup bukan berarti harus jalan-jalan ke tempat menarik, tak perlu pergi ke mall agar terlihat asik, bahkan tak perlu pula mempunyai kendaraan mahal agar mendapat wanita cantik.
        Ku coba melihat kebawah, terlihat dua kaki ku yang sombong dengan empat mata kakinya yang seolah enggan menyapa pada sang lantai. Sejenak ku keluar kamar, berdiri pada teras halaman sambil menghisap batang rokok yang kira-kira akan habis setelah dihisap dengan empat hisapan lagi. Dua hembusan asap mengiringi mata yang dengan iseng menatap langit buatan sang maha pencipta dengan hujannya yang mulai reda. Ada apa sebenarnya diatas sana penasaran ku dibuatnya, tetapi entahlah tak penting bagiku.
        Pola menjalani hidup sangat sederhana mungkin, itu apabila diartikan oleh aku yang berpikiran sederhana. Terkadang kita repot melihat ke atas dan penasaran bagaimana rasanya berada diatas. Seperti langit dengan luas tanpa limit, begitu pula dengan kata atas yang sepertinya tidak mempunyai batas. Tanpa ada batas itulah yang membuat manusia tak pernah puas, dan tanpa limit itu pula yang membuat manusia menjadi pelit.  Sebenarnya itu yang melekat sehingga hidup menjadi tak nikmat. Rasa tak pernah puas dan pelit karena tak mau berbagi sudah menjadi momok yang selalu ada pada manusia. Sehingga tinggal menunggu saja, dengan rasa tak pernah puas maka hati akan selalu panas dan nantinya hidup akan menjadi naas. Begitu pula dengan sifat pelit membuat manusia akan menjadi pailit.


Maka itu, PUASLAH PADA DIRI SENDIRI DAN BERBAGILAH UNTUK SESAMA

Selasa, 10 November 2015

(DIREMEHKAN ?) = (BUKTIKAN !)

          Saya seseorang yang dilahirkan di Jakarta dengan silsilah keluarga asli Jakarta pula, yang saat ini sedang menjalani  hidup menjadi seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Adalah Universitas Padjadjaran, salah satu perguruan tinggi negeri tempat dimana saya mengais ilmu bakal bekal masa depan nanti. Terletak di daerah perbatasan antara Bandung dan Sumedang yaitu Jatinangor lebih tepatnya. Entah karena faktor kebetulan atau keberuntungan, kampus Universitas Padjadjaran menerima saya untuk ikut serta mengais ilmu di tempatnya. Yang jelas saya yakin bahkan sangat yakin semua adalah hasil dari usaha kerja keras selama ini serta doa yang tidak lupa selalu saya bisikan kepada tuhan. Usaha kerja keras dan doa pada saat itu saya akui dan dapat dikatakan sangat terpaksa serta penuh ambisi akibat banyak tetangga yang meremehkan saya ketika saya tidak lulus seleksi untuk melanjutkan pendidikan di SMA negeri pada waktu itu. Terasa agak perih memang ketika diremehkan dengan dasar dibanding-bandingkan dengan anak-anak mereka (tetangga) yang dengan KEBERUNTUNGANNYA dapat lolos untuk melanjutkan pendidikan di SMA negeri favorit.
          Tiga tahun telah berjalan saat itu, Dengan tidak terduga terbayarlah predikat remeh yang disandangkan para tetangga pada diri saya. Malam itu adalah malam dimana kesempatan terakhir saya untuk membuktikan pada mereka bahwa saya bisa menjadi lebih baik dalam hal akademik. Walaupun tidak lama sebelumnya sempat kecewa, karena dengan sombongnya Universitas Brawijaya menolak mentah-mentah diri saya untuk ikut merasakan bangku akademiknya. Sangat senang malam itu, Universitas Padjadjaran menerima saya untuk merasakan mengais ilmu di bangku akademiknya. Bukan soal senang sekedar bisa masuk salah satu Universitas ternama di Indonesia, tetapi lebih dari itu. Senang saya merupakan senang akhirnya dapat membuktikan bahwa saya tidak seremeh yang dipandang mereka-mereka.
          Sampai saat ini, empat tahun sudah saya menjalani pendidikan di almamater biru dongker (Universitas Padjadjaran). Telah menjadi mahasiswa tingkat akhir, bahkan lebih dari itu. Dikatakan lebih karena saat ini saya telah berada pada semester 9, lebih satu semester karena normalnya masa kuliah adalah 8 semester. Skripsi yang saya kerjakan tak kunjung usai dan selesai, entah karena saya terlalu santai dan malas atau karena persoalan eksternal, yang jelas saya tidak mau menyalahkan siapapun bahkan tak mau menyalahkan diri sendiri. Tiada guna menyalahkan, yang saya tahu saya telah berusaha serta berdoa supaya semua lekas selesai. Seperti terulang kembali, saya pun merasakan lagi untuk yang kedua kalinya selentingan sindiran pada diri saya. Banyak yang menanyakan kapan selesai, tidak hanya itu namun diikuti dengan pernyataan dengan membandingi saya dengan anak-anak mereka yang jauh lebih dahulu merasakan wisuda. Pertanyaan maupun pernyataan semacam itu saya rasakan seakan menuding dan menghakimi diri ini. Hanya satu keinginan dan harapan saya untuk saat ini, MEMBUKTIKANNYA LAGI PADA SIAPAPUN.  (SEMOGA)

Tulisan menjelang subuh di Jatinangor, ditemani secangkir kopi.

Senin, 27 Juli 2015

Warna

Kisah kemarin
Sudah lepas bersama harapan
Lingkaran pun sudah berubah
Menjadi garis lurus tanpa persimpangan

Bagai kanvas putih kini
Selalu ku jaga
Agar tak ada yang mewarnai
Dengan warna
Tak ingin lagi ku percaya

Tiba saatnya ego berbicara
Ego ku
Tak ubah
Seperti ego mu yang lalu

Rabu, 22 April 2015

Antara Aku, Kau, dan Kopi


Kopi memang hitam, aku harap hatimu tidak
Kopi memang hitam, aku harap tuturmu tidak
Kopi memang hitam, aku harap perilakumu tidak
Lagi-lagi aku harus menyebut kopi memang hitam
Sehitam harapanku untuk memilikimu

Kopi memang pahit, sepertimu yang selalu mengundang tanya
Kopi memang pahit, seperti aku yang selalu mencari jawaban
Kopi memang pahit, seperti hubungan lalu yang tak bernama itu
Kopi memang pahit, tetapi tak selamanya akan pahit
Bisakah kita mencari beberapa butir gula dan mengaduknya bersama

Hubungan yang lalu
Seperti kopi, begitu hangat
Hangat pada awalnya, dan sunyi akhirnya
Seperti aku pula
Sebuah cangkir dengan ampasnya



(Rifal Rinaldi, Jatinangor 22 April 2015) 

Senin, 20 April 2015

Untuk Ayah Sang Pemimpin Sejati


Sejak lama aku bertanya-tanya apa yang ingin kau cari. Ditengah kesibukan pekerjaanmu masih saja kau sempatkan dirimu untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat. Memang kata “pemimpin”  yang melekat pada dirimu tidak lebih dari sekedar menjadi ketua RW di lingkungan sekitar. Biarpun begitu aku bangga, bahkan bangga sekali mempunyai seorang ayah yang rela membagi waktunya demi kepentingan masyarakat disaat kepala keluarga yang lain sibuk dengan keluarganya dan pekerjaannya.
                Namun, yang perlu kau tahu, tidak pernah ada rasa cemburu sedikitpun yang bermuara di pikiran dan hati ini. Kau tetaplah seorang ayah yang lihai sekaligus apik dalam memberikan perhatian pada anggota keluarga. Seringkali kau menengahkan keadaan dengan cara mencairkan suasana dalam perdebatan ketiga anakmu akibat berbedanya pendapat. Tidak hanya itu, untuk hal kecilpun kau tetap apik dalam memberikan perhatian, setiap sore menjelang maghrib jika aku sedang berada di “istana kita”  tidak pernah absen ditelingaku perintahmu untuk segera aku mandi. Lucu memang, seperti anak kecil saja.  Tapi di situlah salah satu titik dimana aku dapat menilai bahwa perhatianmu amat begitu besar.
                Mungkin sejumlah butiran pasir di lautan tidak akan cukup untuk memberikan apresiasiku untukmu. Yang aku tahu, selain ibu, hanya engkaulah yang selalu memberikan terangnya jalan ku, dan juga disaat aku sedang berada di suatu persimpangan, engkau lah orang yang menuntunku untuk menentukan arah mana yang benar-benar harus aku pilih. Aku tidak mau menaruh kau pada tempat keempat setelah ibu,ibu, dan ibu, walaupun agama mengajarkannya demikian. Yang jelas aku menganggap kasih sayang dan perhatianmu sama besarnya terhadap apa yang ibu berikan.
              Tidak banyak yang dapat aku tuliskan, hanya satu pesanku untuk mu ayah. Tetaplah menjadi pemimpin yang baik, bagi keluarga maupun masyarakat. Maafkan aku bila sering membuatmu jengkel akibat kenakalan yang sudah aku perbuat. Maafkan aku pula yang terkadang tidak pernah merasa cukup atas segala apa yang sudah engkau berikan. Percayalah, aku bersumpah engkau dan ibu lah orang pertama yang kusebut dalam setiap doa ku. Terimakasih atas perhatian dan kasih sayangmu, terimakasih terhadap kebebasan yang selalu engkau berikan untukku. Aku sangat bangga mempunyai seorang ayah sepertimu.


Untuk mu Ayah, Dari aku yang masih belum bisa membanggakanmu sampai saat ini.


(Rifal Rinaldi, Jatinangor 20 April 2015)

Sabtu, 18 April 2015

KEMANA KAU PEMUDA

Berani dan gagah
Baik jiwa maupun raga
Harapan untuk berjaya
Engkaulah pemegang cakrawala

Disaat masyarakat mengharapkanmu
Dimanakah dirimu
Dimana rasa kepedulianmu
Kemana rasa perhatianmu
Masih adakah kreatifitasmu

Mungkin memang bisa dimengerti
Kau disibukkan dengan akademikmu
Beberapa setumpuk pekerjaanmu
Atau terlena dengan arus teknologi
Tak adakah secuil waktu untuk berbagi

Kemana kau pemuda
Pemuda kau kemana
Pemuda kemana kau
Kau kemana pemuda


( Rifal Rinaldi, Jakarta 09 April 2015 )

Jumat, 17 April 2015

Menanti Kejelasan

Mungkin kau bertanya-tanya atau mungkin malah bisa mendeteksi alasan mengapa aku memilih secara diam-diam untuk pergi. Akhir-akhir ini aku memang menjadi lebih pendiam dan sekaligus pada saat yang bersamaan menyimpan rasa gusar yang amat dalam. Ingin sekali rasanya meluapkan amarah, tapi tersadar dalam benak “aku ini bukan siapa-siapa”.

Tentu kau masih ingat awal pertemuan kita, berawal dari sebuah organisasi kecil. Kala itu tidak hanya berbicara tentang kehadiran aku dan kau, tetapi banyak juga rekan-rekan yang lain. Singkat waktu, aku lebih senang mendengarkanmu bertutur, melihat bibirmu yang terus menari, wajahmu yang penuh dengan keyakinan, dan matamu yang seakan meyakinkanku pula bahwa kau lah orang yang selama ini ku tunggu.

Kecuali kita dan tuhan, tanpa mereka sadari. kedekatan kita pun perlahan berlanjut. Kau tak segan untuk mengajak ku berbicara berdua pada setiap momen, walaupun itu hanya sebentar. Jujur, diam-diam aku sangat menikmati itu. Seiring waktu berjalan, aku pun tak segan untuk menawarkan menjemputmu pulang sekolah. Saat itu, kupacu sepeda motor dekil ku menuju sekolahmu sambil memikirkan topik apa yang akan ku bicarakan saat berboncengan nanti. Memang tergambar tidak ada yang istimewa saat menjemputmu, menjemput dari sekolah langsung kerumahmu. Tetapi ada satu hal yang aku harus benar-benar syukuri, aku bersyukur bisa menjagamu dalam perjalanan singkat pulang sekolah. Berlebihan memang, tapi itulah nyatanya.

Namun, hal yang sangat membuatku merasa pahit bahwa kita sama-sama tahu kau sudah berpemilik. Aku tidak memikirkan tentang itu, setiap kali aku selalu menyegarkan pikiranku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku sadar jika aku berada pada posisi yang sangat salah, bahkan seringkali aku berusaha untuk sendiri dan menjauh dari radarmu.

Sekarang mungkin adalah klimaks dari sikap ku. Aku secara diam-diam memilih untuk pergi dan menjauh. Aku merasa hubungan tak bernama ini berada di posisi yang salah dan sekaligus ini adalah bentuk kelelahanku dalam menunggu kejelasan dari hubungan tak bernama ini.

Aku tak ingin mengutarakan cinta seperti apa yang biasa dilihat di acara konyol pada layar kaca. Berulang kali aku mencoba membicarakannya secara baik-baik, tetapi kau selalu mengalihkan hal itu. Jika membicarakan tentang kejelasan hubungan ini secara baik-baik membuat lidah mu kaku dan kelu, kau boleh menuangkan semua jawabanmu pada tulisan semacam ini dan itu yang akan selalu ku tunggu.

_Dari aku, yang sampai saat ini mencari sebuah kejelasan_


(RIFAL RINALDI, Jakarta 18 April 2015)

Selasa, 07 April 2015

Cinta dan Rasa Sayang yang Utopis

              Cinta, sebagai seorang mahasiswa memang terasa sangat memalukan sebenarnya untuk membahas hal itu. Apalagi sekarang, di tengah keadaan Indonesia yang sedang dihujani berbagai macam masalah, baik itu sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang lainnya. Sebagai agen perubahan memang sudah seharusnya saya memikirkan urusan yang berada jauh dari luar diri pribadi, sebagai contoh ikut peduli dan mencari solusi dari berbagai macam masalah yang ada di negara kita ini.
                Namun untuk saat ini hati berkata lain, dan otakpun seakan menyuruh dengan pecutnya yang ganas untuk menuangkan semua urusan perasaan yang ada. Ditemani udara dingin malam ini, terfikir apa makna cinta yang sebenarnya?. Saat ini kata “cinta” lebih banyak dipersepsikan oleh orang lain adalah rasa sayang terhadap kekasih. Dan aku pun berfikir demikian.
                Rasa sayang, sesuatu yang tidak dapat disentuh tetapi mungkin bisa dirasakan. Tetapi bukan arti rasa sayang tersebut yang menjadi persoalan. Yang ada dalam benak adalah apakah rasa sayang dapat kita berikan pada orang yang juga disayangi orang lain. Contohnya, kita mempunyai rasa sayang pada seorang wanita yang sudah menjadi milik lelaki lain namun hubungan mereka hanya sebatas pacar. Sepertinya tidak akan ada seorangpun yang  mampu membenarkan hal tersebut.
                Cinta dan rasa sayang memang mempunyai rasa keegoisan dalam keabstrakannya. Mereka hanya sempurna apabila saling menempel pada seporsi perasaan dua manusia (lelaki dan perempuan), tidak untuk tiga manusia, empat, lima, ataupun seterusnya. Maka aku pun dapat mengerti dengan yang aku rasakan dan alami saat ini, bahwa cinta dan rasa sayang yang ku miliki dan ku beri pada seseorang yang ku kenal nampaknya terlalu Utopis yang tidak mungkin bisa sempurna. ENTAHLAH !
_Untuk seseorang yang selalu aku semogakan dalam doa ku_


(Rifal Rinaldi, Jatinangor 07 April 2015)

Selasa, 17 Maret 2015

BERGURU PADA SEMUT


             Kecil bentuknya, itulah mereka hewan yang bernama semut. Berjalan berbaris di tembok kamar kostan ku. Seketika terbesit di dalam pikiran apa yang mereka lakukan bersama?, disaat para manusia sibuk dengan kegiatannya masing-masing tanpa menghiraukan manusia yang lainnya. Ketika itupun aku teringat masa-masa SMA ku, seorang guru mengatakan manusia adalah mahluk sosial. Mahluk sosial? Ah tidak sama sekali sepertinya untuk saat ini, kebanyakan bersifat individualis, angkuh, egois dan tidak peduli satu sama lain.

             Dalam lamunan aku tersenyum, apakah semut yang sebenarnya dapat dikatakan mahluk sosial?. Mereka berjalan tanpa ingin mendahului satu sama lain, mereka membawa makanan beramai-ramai sampai pada tempat yang dituju, mereka seperti berjabat tangan ketika berpapasan satu sama lain. Lucu memang, tapi apa yang ku lihat seperti menyentil bahkan menampar hati kecil ini. Sebagai manusia aku seharusnya malu kepada hewan kecil ini, hewan yang biasa kita anggap remeh karena bentuknya yang kecil. Mereka lebih baik bahkan jauh lebih baik dari manusia dalam hal sosial tanpa ada rasa egois sedikitpun. Dari sini mungkin aku,kalian, atau mereka dapat belajar untuk menjadi manusia yang mempunyai rasa peduli terhadap satu sama lain. SEMOGA.

(Rifal Rinaldi, Jatinangor 18 maret 2015)