Mungkin kau bertanya-tanya atau
mungkin malah bisa mendeteksi alasan mengapa aku memilih secara diam-diam untuk
pergi. Akhir-akhir ini aku memang menjadi lebih pendiam dan sekaligus pada saat
yang bersamaan menyimpan rasa gusar yang amat dalam. Ingin sekali rasanya
meluapkan amarah, tapi tersadar dalam benak “aku ini bukan siapa-siapa”.
Tentu kau masih ingat awal
pertemuan kita, berawal dari sebuah organisasi kecil. Kala itu tidak hanya
berbicara tentang kehadiran aku dan kau, tetapi banyak juga rekan-rekan yang
lain. Singkat waktu, aku lebih senang mendengarkanmu bertutur, melihat bibirmu
yang terus menari, wajahmu yang penuh dengan keyakinan, dan matamu yang seakan
meyakinkanku pula bahwa kau lah orang yang selama ini ku tunggu.
Kecuali kita dan tuhan, tanpa
mereka sadari. kedekatan kita pun perlahan berlanjut. Kau tak segan untuk
mengajak ku berbicara berdua pada setiap momen, walaupun itu hanya sebentar. Jujur,
diam-diam aku sangat menikmati itu. Seiring waktu berjalan, aku pun tak segan
untuk menawarkan menjemputmu pulang sekolah. Saat itu, kupacu sepeda motor
dekil ku menuju sekolahmu sambil memikirkan topik apa yang akan ku bicarakan
saat berboncengan nanti. Memang tergambar tidak ada yang istimewa saat
menjemputmu, menjemput dari sekolah langsung kerumahmu. Tetapi ada satu hal
yang aku harus benar-benar syukuri, aku bersyukur bisa menjagamu dalam
perjalanan singkat pulang sekolah. Berlebihan memang, tapi itulah nyatanya.
Namun, hal yang sangat membuatku
merasa pahit bahwa kita sama-sama tahu kau sudah berpemilik. Aku tidak
memikirkan tentang itu, setiap kali aku selalu menyegarkan pikiranku bahwa
semua akan baik-baik saja. Aku sadar jika aku berada pada posisi yang sangat
salah, bahkan seringkali aku berusaha untuk sendiri dan menjauh dari radarmu.
Sekarang mungkin adalah klimaks
dari sikap ku. Aku secara diam-diam memilih untuk pergi dan menjauh. Aku merasa
hubungan tak bernama ini berada di posisi yang salah dan sekaligus ini adalah bentuk
kelelahanku dalam menunggu kejelasan dari hubungan tak bernama ini.
Aku tak ingin mengutarakan cinta
seperti apa yang biasa dilihat di acara konyol pada layar kaca. Berulang kali
aku mencoba membicarakannya secara baik-baik, tetapi kau selalu mengalihkan hal
itu. Jika membicarakan tentang kejelasan hubungan ini secara baik-baik membuat
lidah mu kaku dan kelu, kau boleh menuangkan semua jawabanmu pada tulisan
semacam ini dan itu yang akan selalu ku tunggu.
_Dari aku, yang
sampai saat ini mencari sebuah kejelasan_
(RIFAL
RINALDI, Jakarta 18 April 2015)